Sahabat pemikir cerdas untuk TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut ini merupakan season terakhirnya sahabat . Lain waktu nantinya akan di postkan juga TUTUR TINULAR 5 ya sahabat.Baiklah sahabat lansung aja deh, selamat membaca sahabat.
Prajurit
Singasari mendirikan tenda darurat di halaman rumah penginapan desa
Apajeg. Sementara itu Pranaraja, Jarawaha, Ganggadara,Mpu Hanggareksa
dan Ranggalawe istirahat di ruangan tidur masing-masing. Pagi hari pun
tiba.
Mpu Hanggareksa baru saja selesai membersihkan
badannya ketika mendadak terdengar keributan di halaman penginapan.
Pranaraja memandang Mpu Hanggareksa dan berusaha menajamkan
pendengarannya. Keduanya buruburu memandang ke arah datangnya suara
keributan itu.
"Tuan! Tuan Hanggareksa?”
“Ada apa, Tuan Pranaraja?”
“Ada
keributan di halaman rumah penginapan ini. Tuan segera saja berpakaian,
saya akan melaporkan hal ini pada Gusti Ranggalawe." Pranaraja segera
melompat meninggalkan Mpu Hanggareksa. Sementara itu, di pelataran
penginapan desa Apajeg telah terjadi perkelahian sengit. Jaran Bangkai
dan Jaran Lejong membuat keributan, keduanya mengganggu prajurit
Singasari. Melihat kejadian itu, Jarawaha segera menyibak di tengah
kerumunan mereka. Ia tersenyum sinis pada Jaran Bangkai dan Jaran Lejong
yang sudah siap menyambutnya dengan kuda-kuda.
Beberapa prajurit menghunus pedang dan siap bertarung.
"Minggir!
Kalian semua minggir! Masukkan kembali senjata kalian ke dalam
sarungnya. Kami berdua tidak membutuhkan prajurit! Kalau hanya untuk
menghajar dua perampok tengik macam mereka ini." Melihat kehadiran
Jarawaha dan Ganggadara dua berandal itu makin beringas dan tertawa
lebar, "Hahahah! Dulu kami berdua pernah kalian kalahkan di desa Jasun
Wungkal," ujar Jaran Bangkai sombong sekali.
"Dan sekarang kalian akan kami ringkus!" tukas Ganggadara tak kalah sengit.
"Hehehehe?
Dengar Adi Jaran Lejong! Mereka akan meringkus kita katanya? Apakah
mereka ini tidak malu dilihat anak buahnya, kalau sampai kita buat babak
belur?" ejek Jaran Bangkai disusul dengan ledakan tawanya.
"Kurang
ajar! Hiaaaaa...!" mendengar cemoohan itu, Ganggadara terpancing dan
menjadi naik pitam. Ia menggebrak dengan tebasan pedangnya yang sangat
tajam.
Namun, baru satu gebrakan saja mereka terpaksa menghentikan-pertarungan.
"Hentikan!
Hentikan! Jarawaha, Ganggadara! Apa yang kalian lakukan? Heh, bukankah
kalian Jaran Bangkai dan Jaran Lejong?" Pranaraja setengah tak percaya
melihat siapa yang ada di depan matanya. Kedua berandal itu masih juga
menjadi biang keributan seperti beberapa waktu yang lalu.
"Heheheh, benar. Apakah Tuan bermaksud turun ke gelanggang juga?”
“Jaran
Bangkai! Dulu kau dan kawanmu itu pernah kuampuni, mestinya kalian
berdua sudah tidak mempunyai tangan lagi untuk membuat
kejahatan-kejahatan yang baru.”
“Sekarang kita tidak
perlu mengampuninya lagi, Tuan Pranaraja. Dua penjahat seperti mereka
ini sudah sepantasnya diremukkan tulang-belulangnya," timpal Jarawaha
menahan marah.
"Huuuh! Sombong! Lakukanlah kalau kalian bisa!”
“Jaran Lejong! Kalau kalian tidak mau mengalah, kalian akan berhadapan dengan pemerintah Singasari.”
“Tuan Pranaraja! Baik sekarang, besok atau pun lusa, kami tidak sudi menyerah.”
“Perkataanmu
semakin tidak sopan saja! Hiaaaa...!" Jarawaha tak sabar lagi, tanpa
menunggu perintah atasannya ia langsung melompat dan menerjang dengan
tebasan pedangnya. Gebrakannya disambut oleh Jaran Lejong dengan
tangkisan pedangnya hingga kedua senjata itu berdenting hebat. Benturan
dua senjata itu menimbulkan percikan api.
"Hentikan!"
bentak Pranaraja sehingga Jarawaha melompat mundur dan menjejakkan
kakinya di sisi Pranaraja beberapa langkah. Pranaraja marah. "Kau jangan
bertindak atas nama pribadimu sendiri, Jarawaha.
Dua orang ini jelas mau menghina
pemerintah Singasari.
Karena
itu dia harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Singasari. Ayo,
kalian jangan hanya menonton! Tangkap dua orang ini! Ringkus
merekaaa...!" Prajurit Singasari yang berjumlah dua puluh orang itu
secara bergantian menyerang Jaran Bangkai dan Jaran Lejong. Kadangkala
lima orang prajurit menyergap serentak, kemudian dilanjutkan dengan
empat atau lima orang prajurit lainnya. Tapi Jaran Bangkai dan Jaran
Lejong memang tangkas dan mempunyai kepandaian di atas rata-rata
prajurit Singasari. Dengan pedang panjangnya mereka berusaha membendung
serangan yang datang beruntun.
Mendadak sebuah bayangan
berkelebat ringan dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Hanya
dalam satu gebrakan saja bayangan itu sudah berhasil membuat jungkir
balik dua orang prajurit Singasari. Kedua prajurit Singasari itu
menjerit roboh dan tertelungkup mencium tanah. Darah pun muncrat dari
perutnya membasahi tanah.
Melihat pemandangan seperti itu Pranaraja memberikan aba-aba pada bawahannya.
"Hentikan!Mundur
semua!Munduuurrr." Seketika para prajurit Singasari pun mundur menjauhi
medan perkelahian. Pertempuran pun berhenti. Keadaan sejenak menjadi
sunyi.
Pranaraja membelalakkan matanya melihat ke arena. Di sana berdiri seseorang yang tampaknya pernah dilihatnya.
"Ada yang ikut campur urusan ini. Siapa kau?" bentaknya penasaran melihat sosok orang itu.
Bayangan
yang ternyata adalah seorang wanita berwajah cantik itu membalikkan
tubuhnya dan tersenyum ke arah Pranaraja. Senyuman itu sangat manis,
tapi mendadak berubah menjadi sangat dingin dan menyeramkan. Wanita
berparas cantik itu masih tertawa. Tawanya melengking tinggi, dan bila
terdengar pada malam hari bisa membangunkan bulu roma.
@@@
?
Wanita berparas cantik itu terus tertawa memperhatikan kerumunan
orang-orang yang menontonnya menjadi tampak bodoh. Mereka yang berkumpul
di halaman hanya melihat sambil bertanya-tanya dalam hati apa
maksudnya.
Pranaraja melompat ke depan.Wanita itu mendengus.
"Kauu...
kau pun sepertinya pernah kulihat. Ya. Di tempat yang sama. Waktu itu
aku hampir saja memotong lengan dua perampok itu. Kau dan teman
laki-lakimu datang dan membawa mereka pergi," geram sekali Pranaraja
menghardik wanita cantik di depannya.
"Kau sudah lupa siapa namaku, Tuan Prajurit?" wanita cantik itu berkata sinis dengan bibir mencibir pada Pranaraja.
"Aku
ingat. Sebelum pergi mereka menyebutkan nama mereka lebih dulu, Tuan.
Dewi Sambi. Bukankah benar itu namamu?" Jarawaha mengingatkan Pranaraja
pada peristiwa beberapa waktu yang lalu.
"Ya, benar, Kau prajurit yang baik." Dewi Sambi mengibaskan rambutnya yang menutupi kening.
"Lalu mengapa kau ikut campur urusan kami lagi?" tanya Pranaraja dengan suara berat dan dalam.
"Jaran Bangkai dan Jaran Lejong sudah menjadi orangorangku.
Setiap
persoalan yang menyangkut diri mereka, aku tidak akan berpangku tangan.
Aku pasti ikut campur," jawab wanita cantik itu tegas, lugas dan penuh
kebanggaan.
Jaran Bangkai dan Jaran Lejong pun turut mengangguk dan memberikan hormat pada pimpinannya.
"Apakah
kau bermaksud membela anak buahmu yang telah membuat kesalahan?"
semakin tak sabar Pranaraja bertanya, saat ini disertai gerakan kaki
mengukuhkan kudakuda.
"Mereka membuat kesalahan? Kesalahan apa?”
“Mereka telah menghina kami, prajurit-prajurit Singasari.”
“Hmm....,
apa benar begitu? Biarlah aku akan tanyakan pada yang bersangkutan."
Dewi Sambi tetap menunjukkan wajah asam, berpaling pada anak buahnya
tanpa menggeser dari tempatnya berdiri dengan kedua kaki kukuh
terpancang di tanah. Jaran Bangkai dan Jaran Lejong seketika memberikan
hormat dengan sedikit membungkukkan badan mereka.
"Apa yang telah kaukatakan pada mereka sehingga mereka merasa terhina, Jaran Bangkai?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa, Tuanku Putri Sambi.
Adi
Jaran Lejong yang telah bertengkar dengan orang itu," jawab Jaran
Bangkai tegas dan kembali membungkuk hormat. Dewi Sambi memandang Jaran
Lejong dengan ekor matanya.
"Kau telah berkata apa, Jaran Lejong?”
“Saya,
saya... hanya berkata bahwa prajurit Singasari berpakaian bagus. Tapi
kalau misalnya saya disuruh menjadi prajurit, saya tidak akan mau.”
“Mengapa tidak mau?”
“Soalnya
saya tidak berbakat menjadi prajurit. Apalagi prajurit Singasari
sekarang ini. Saya tidak tertarik sama sekali. Saya katakan lebih baik
saya menjadi seorang pedagang makanan." Selesai menjawab Jaran Lejong
kembali memberi hormat.
"Naah! Itu berarti kau menghina kami, prajurit-prajurit Singasari," potong Ganggadara menahan amarah.
"Tidak! Kurasa dia tidak bisa dikatakan menghina.
Kalian saja yang mudah tersinggung, mudah terhina," sahut Dewi Sambi ketus.
"Jelas
dia sudah menghina kami Dia katakan lebih baik menjadi pedagang
makanan, daripada menjadi prajurit Singasari," tukas Jarawaha dengan
suara parau "Yaaa! Prajurit Singasari hanya mentereng pakaiannya.
Tapi
isinya kosong melompong. Buktinya, kalian tidak bisa berbuat banyak
menghadapi kami berdua?" ejek Jaran Bangkai sambil memegang gagang
pedang yang terselip di pinggangnya.
"Kalian hanyalah
prajurit pajangan. Gentong nasi yang hanya menghabiskan kekayaan negara.
Bwaaahhh!" ejek Jaran Lejong sambil meludah ke tanah.
"Kurang
ajar. Hiaaaahhhh!" Jarawaha benar-benar tidak dapat menahan diri.
Pemuda berotot itu langsung menggebrak Jaran Lejong yang dianggapnya
sangat sombong. Jarawaha menerjang sangat kuat ke arah perut dan
menghantamkan tangan kanannya pada leher Jaran Bangkai, namun ia
terkejut karena yang dipukulnya dapat berkelit begitu rupa. Ia berdiri
tegak dan memasang kudakuda sambil mencabut pedangnya. Jaran Bangkai
melakukan hal yang sama. Pedang yang sangat tajam itu berkilat-kilat
tertimpa cahaya matahari. Mereka saling menatap tajam dan akhirnya
keduanya sama-sama menyabetkan pedang itu. Suara berdenting menambah
keriuhan perkelahian itu.
"Tunggu! Kau tidak usah terburu
nafsu menunjukkan ketajaman mata pedangmu!" bentak Dewi Sambi membuat
keduanya menghentikan perkelahian. Bahkan wanita cantik itu melompat dan
berdiri di antara keduanya.
"Minggir kau perempuan! Jangan berdiri di hadapanku!" hardik Jarawaha dengan menggeretakkan giginya.
"Aku tidak ingin melihat kalian menyakiti anak buahku.
Kalau masih ada yang nekad, aku akan mengambil tindakan demi keadilan.”
“Jangan
banyak mulut! Minggir atau ujung pedangku ini akan mencoreng moreng
wajahmu dengan darah! Hiaaa!" tiba-tiba Ganggadara ikut menyerang dan
menggebrak dengan sabetan pedangnya yang sangat tajam. Tapi pemuda itu
betul-betul terkejut sebab wanita cantik itu sekalipun dibokong dari
belakang dapat berkelit dari serangannya, bahkan kedua tangannya ditarik
tepat di depan dadanya dan kedua tangan itu dihempaskan kearahnya
dengan jemari terbuka. Dari kedua telapak tangan itu meluncurkan tenaga
yang sangat dahsyat dan menghantam tepat di dada Ganggadara. Pemuda
berotot itu terhuyung dan roboh ke tanah dengan mendekap dadanya yang
terasa sesak.
"Ohh! Aji Tapak Wisa?" Pranaraja ikut terkejut melihat kenyataan itu.
"Barangsiapa
yang masih mau mencoba menyerang kami, akan mendapat ganjaran yang
serupa dengan orang ini!" ancam Dewi Sambi dengan memandang rendah pada
Ganggadara yang matanya mendelik, hidungnya kembang kempis dan bibirnya
meletat-meletot karena menahan dada yang sangat sesak akibat pukulan aji
TapakWisa.
"Ehh, eehh... napasku... dadaku... rasanya panas sekali," keluh Ganggadara makin mendelik.
"Dewi Sambi! Kau sudah berani melukai anak buahku.
Tahukah kau apa artinya?" tanya Pranaraja dengan sikap waspada.
"Hii...hii... artinya kau mau membelanya bukan? Kau mau turun tangan demi menjaga harga diri seorang prajurit.
Nah, silakan!”
“Huuuh!
Kau memang hebat, karena mempunyai pukulan Tapak Wisa. Tapi bukan
berarti aku menjadi gentar!" Pranaraja mencabut pedangnya yang tipis
tetapi berpamor tinggi. Pedang itu berkilat-kilat. Telapak tangan
kirinya terbuka lalu pedang itu ditumpangkan di sana sambil ditarik
perlahan seperti mengasahnya, "Ayo, Dewi Sambi! Kita adu kesaktian!
Kalau aku sampai kalah, kau boleh pergi bersama dua orang kawanmu itu
dan kami mengaku bersalah. Tapi kalau kau sampai kalah, kalian bertiga
harus menyerah dan mau kubawa ke kota Singasari sebagai tawanan!”
“Hihihii...
boleh! Boleh? Ayo, mulailah! Kerahkanlah seluruh kepandaianmu, supaya
tidak mengecewakan anak buahmu yang sekarang melihat tingkah lakumu."
Pranaraja tak sabar lagi. Ia langsung menggebrak wanita itu dengan
tebasan-tebasan maut. Dewi Sambi melompatlompat lincah sekali bagaikan
burung srikatan bermainmain dengan kutu terbang. Setiap kali bergerak
disertai dengan pekikan-pekikan berkekuatan tinggi. Suaranya nyaring dan
mengerikan. Pranaraja benar-benar penasaran dan sangat gusar dibuatnya.
Pranaraja menganggap kelakuan Dewi Sambi benar-benar kurang ajar. Ia
tidak mau dibikin malu di depan musuh dan anak buahnya, sambil
mempererat genggamannya pada gagang pedang maka ia langsung menyerang
dengan kekuatan penuh, "Hiaaaa... hiaaaaahh!" perwira itu melenting ke
udara dan menghempaskan pedangnya ke arah leher wanita itu. Tapi sekali
lagi tebasannya hanya menyambar angin. Suara pedang itu bersiut kencang
sekali, berdengung panjang seperti suara gangsingan. Angin pedang
Pranaraja bersuitan membabat kiri kanan. Prajurit-prajurit yang melihat
menjadi bangga mempunyai seorang panglima muda seperti Pranaraja. Tapi
mereka heran sekali. Sudah lebih dari sepuluh jurus Pranaraja menyerang,
lawannya kelihatan belum ada tanda-tanda bisa dikalahkan. Bahkan
keadaan menjadi berbalik, manakala wanita berwajah cantik itu mulai
membuka serangan dengan jurus-jurus andalannya.
Kedua belah tangan Dewi Sambi terjulur ke depan, dan telapak tangannya mengembang.
"Hiaaaaaiiihhhh!"
Dewi Sambi menghantamkan aji Tapak Wisa tepat ke arah dada Pranaraja
yang membabibuta menyerangnya. Namun, wanita cantik itu terkejut karena
hantamannya membentur tenaga dalam yang sangat dahsyat. Pukulannya
terbendung oleh sesuatu yang melesat cepat menghadang di depannya.Mata
Dewi Sambi melotot, napasnya terengah-engah menahan geram. Mulut
mungilnya setengah terbuka ketika memperhatikan lelaki tinggi besar
berjambang lebat yang berdiri di depannya.
Sementara Pranaraja dengan cepat memberikan hormat.
"Ohh, Tuanku. Tuanku telah menyelamatkan nyawa saya!”
“Kurang ajar! Siapa kau berani menghadang jurusku yang berbahaya ini?" hardik Dewi Sambi sambil menjejakkan kaki kanannya.
"Pranaraja!
Minggirlah sebentar! Ajaklah Ganggadara ke serambi depan, supaya Paman
Hanggareksa melihat luka dalamnya." Pranaraja tanpa komentar langsung
melakukan perintah lelaki tinggi besar dan berwibawa itu. Suaranya yang
berat dan dalam sempat menggetarkan hati Dewi Sambi yang memuji di dalam
hati.
"Siapa kau berani turun gelanggang membela prajurit
Singasari itu?" tanyanya dengan nada penasaran dan melangkah dua tindak
mendekat.
"Sabar, Dewi Sambi! Semua nanti bisa kita
selesaikan dengan sebaik-baiknya," lelaki tinggi besar itu menoleh pada
Pranaraja yang kuwalahan memapah Ganggadara.
Lelaki itu mengangkat dagunya yang kukuh.
"Cepatlah angkat Ganggadara! Mudah-mudahan luka dalamnya tidak terlalu parah," suaranya yang berat kembali memberi perintah.
"Dia akan mampus kalau aku menggunakan pukulan ilmu TapakWisa seluruhnya," tukas Dewi Sambi mencibir.
"Kalau begitu ampuh sekali pukulanmu itu, Dewi Sambi.”
“Kalau kau ingin mencicipinya, aku akan memberimu kesempatan.”
“Hmmm, boleh juga. Siapa tahu pukulanmu lebih lezat dibanding semangkuk arak yang paling enak.”
“Kau akan menyesal karena kesombonganmu!”
“Aku tidak pernah menyesali apa yang pernah kulakukan!”
“Hiaaaaihhh!
Heeiit! Hiaaaatttt!" Dewi Sambi tak sabar lagi menghadapi musuh
barunya. Ia mundur beberapa tindak dan berusaha melabrak lelaki tinggi
besar itu. Satu gebrakan pukulannya dapat dielakkan dengan mudah
sehingga serangannya hanya terhempas di udara. Tanpa diminta ia
menghentikan serangannya dan memandang serius ke arah lawan barunya
sambil menghardik.
"Baguuusss! Agaknya kali ini aku
mendapat lawan yang seimbang. Awasss! Berhati-hatilah! Sekarang kau tak
bakalan bisa lolos dari jurus berantaiku ini! Hiiaaaaihhh! Heeiiit!
Hiaaaah? Hiih! Hiih." Dalam gebrakan yang kedua itu Dewi Sambi
berputar-putar dengan gerakan-gerakan sangat cepat dan sulit dilihat
dengan mata biasa Setiap kali mendapat peluang kedua tangannya
dihempaskan ke depan tepat ke arah lawan tangguhnya. Terdengarlah
benturan dahsyat yang menggema akibat dua tenaga dalam yang dilontarkan
kedua tokoh tangguh itu. Memang benar apa yang dikatakan wanita berparas
cantik yang bernama Dewi Sambi itu, laki-laki tegap perkasa yang kini
menjadi lawan tandingnya itu ternyata memiliki kepandaian yang mampu
mengimbangi permainan jurus-jurus mautnya. Sementara itu, di pihak
lelaki perkasa itu tidak kurang herannya.
Sekalipun
seorang wanita, kemampuan Dewi Sambi tak boleh dianggap enteng. Apalagi
pukulan Aji Tapak Wisa yang mengandung racun, kalau sampai dia lengah,
bisa roboh menjadi korban pukulan maut itu. Karena itu Ranggalawe
terpaksa menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan arus pukulan yang
terasa semakin panas dan berbahaya.
"Heeeeiiiittt! Hiaaaaaahh!" kembali lagi wanita cantik itu melancarkan serangannya dengan jurus-jurus mautnya.
Lelaki
tegap perkasa itu memagari dirinya dengan tenaga dalam dan mengimbangi
serangan dengan jurus-jurus andalannya. Ketika keduanya semakin sengit
bertarung tiba-tiba mendekatlah seorang cebol dengan bertepuk tangan
menyaksikan pertarungan itu. Di punggungnya tergantung tongkat panjang
berkepala ular sendok.
"Hebat! Hebat! Sungguh suatu
tontonan yang menarik sekali!" Dewi Sambi menghentikan serangan. Ia
melompat ke sisi lelaki cebol bertongkat di punggungya itu. "Orang ini
mempunyai tingkat kemampuan cukup tinggi, Kakang. Dia mampu menahan
pukulan Aji Tapak Wisaku," bisik Dewi Sambi setelah melompat mundur dan
menghentikan serangannya. Wanita itu berdiri di samping laki-laki cebol
dengan napas memburu. Lelaki cebol itu membenarkan bisikannya. Ia
melihat prajurit yang dihadapi Dewi Sambi memang prajurit pinilih.
Ia
menilai lelaki tinggi besar berjambang lebat itu sebagai pimpinan
rombongan. Si Cebol itu melangkah, tersenyum dingin dan menatap
Ranggalawe, "Tuan! Bukankah Tuan adalah pimpinan rombongan prajurit
Singasari ini?”
“Ya. Akulah pemimpin mereka. Aku akan
membuktikan, bahwa prajurit Singasari tidak seperti yang dikatakan dua
orang anak buahmu itu. Tidak semua prajurit Singasari adalah gentong
nasi dan tidak becus bekerja.”
“Hehehee... tentu saja tidak semuanya. Mereka ini kan hanya bercanda saja, Tuan. Tuan tidak perlu merasa tersinggung.”
“Bukan begitu caranya bercanda. Kata-katanya sudah tidak bisa digolongkan bercanda.”
“Baiklah, aku minta maaf atas kelancangan mereka!" ujar laki-laki cebol itu merendah dengan suaranya yang cempreng.
"Tentu saja aku akan memberinya maaf. Tapi bukan berarti mereka bisa pergi begitu saja," tukas lelaki perkasa itu.
"Maksud Tuan?”
“Kedua
orang anak buahmu itu akan kuikat dan kuseret dengan kuda sepanjang
perjalananku menuju desa Kurawan. Kemudian mereka akan kubawa ke kota
Singasari untuk kuserahkan pada petugas keadilan.”
“Ahh, kejam sekali. Kurasa hukuman dan perlakuan seperti itu tidak mencerminkan keadilan.”
“Kalau kau membela mereka, kau akan mendapat hukuman yang serupa.”
“Hmmmm,
bagaimana kalau kita buat semacam taruhan? Mari kita berlaga di atas
gelanggang ini. Kalau aku kalah, Tuan boleh membawa dua orangku itu.
Tuan boleh berbuat apa saja atas diri mereka. Tapi kalau Tuan ternyata
dapat kukalah-kan, Tuan harus membebaskan mereka, dan menganggap mereka
tidak bersalah, sekaligus menganggap persoalan ini selesai sampai di
sini.”
“Tantanganmu kuterima. Tapi aku menghendaki taruhan yang lebih besar.”
“Taruhan apa itu?”
“Kalau
kau kalah, kau dan kawan-kawanmu itu harus mati di tanganku!" Mendengar
tantangan yang berat itu, lelaki cebol dan Dewi Sambi saling pandang
sejenak dengan dahi beranyam kerutan. Dewi Sambi melangkah dua tindak
mendekati lakilaki cebol itu seraya berbisik.
"Kakang Bajil! Orang ini menantangmu perang tanding sampai mati!”
“Akan
kulayani." Setelah berunding dengan Dewi Sambi, lelaki cebol yang
dipanggil Bajil itu tersenyum dingin pada Ranggalawe, "Baiklah! Lalu apa
yang Tuan pertaruhkan?”
“Kalau kau dapat mengalahkan
aku, maka aku akan meletakkan jabatanku sebagai panglima perang kerajaan
Singasari, sebelum kuserahkan nyawaku padamu!" Suasana terasa sangat
panas. Merah padam muka lelaki cebol itu. Ia serahkan tongkat dari
punggungnya pada perempuan cantik di sisinya. Dewi Sambi pun bergidik
menerima tongkat berkepala ular sendok dari Bajil. Bulu romanya terasa
tegak berdiri. Demikian pula wajah lelaki tegap itu seperti terbakar. Ia
menghela napas sangat dalam hingga dadanya yang bidang semakin
mengembang besar menunjukkan keperkasaannya. Prajurit-prajurit
Singasari, mereka semua yang berkerumun di halaman rumah penginapan itu,
tak seorang pun berani mengeluarkan katakata.
Semua menahan napas melihat kedua orang pendekar pilih tanding yang sekarang sudah siap mengadu nyawa.
Karena
begitu tegangnya sampai mereka tidak melihat kehadiran seorang
penunggang kuda. Penunggang kuda yang baru datang itu tinggi, gagah,
bertubuh tegap perkasa.
Orang itu tidak segera turun dari punggung kudanya. Dia melihat peristiwa di halaman dengan penuh perhatian.
Matanya menatap tajam, sementara tangan kanannya terletak di atas gagang pedang yang besar, yang terselip di pinggangnya.
"Apakah Tuan sudah siap?" suara cebol itu lantang sekali.
"Majulah! Kau akan kutangkap bersama orangorangmu!”
“Heheheheee...
heheheeee...? Hiaaaaaiihhhh! Wuuuussshhh! Haaaaaiiiihhhh" sambil
tertawa-tawa latah si cebol itu menyerang lawannya yang tiga kali lebih
tinggi dari tubuhnya. Karena serangan-serangannya selalu ditelan udara
kosong, mau tak mau ia melompat mundur dengan tawa terkekeh-kekeh dan
mengangguk-angguk kagum.
"Babo! Baboo! Tenagamu seperti
tenaga dua ekor banteng jantan ditumpuk menjadi satu. Nah, terimalah
seranganku yang kedua ini. Hiaaaaiihhh! Huuuuu...
hiaaaaahhhhh!"
si cebol itu semakin gencar menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Tetapi ia tidak bisa meremehkan lawannya yang juga memiliki kepandaian
tinggi. Laki-laki tegap perkasa itu merasa tidak repot melayaninya.
Kembali si cebol melompat mundur dengan mengangguk-angguk mengakui lawan
tandingnya.
"Hhhhh! Pantas kau diangkat menjadi panglima
perang Singasari. Tidak percuma kau memperoleh jabatan itu. Tapi aku
tidak akan berhenti sampai di sini. Sambi! Lemparkan tongkatku!”
“Terimalah,
Kakang!" Dewi Sambi melemparkan tongkat panjang berkepala ular sendok,
dan tangan pendek itu begitu gesit menangkapnya. Ia tersenyum penuh rasa
bangga. Tangan kanannya mengelus tongkat berkepala ular itu dari ujung
sampai pangkal. Tawanya terkekeh cempreng sambil memandang lawannya. Si
cebol matanya mendelik bagai terbalik hingga yang tampak warna putihnya
saja. Si cebol murka, sambil mendengus keras ia melompat ke belakang
sejauh lima batang tombak. Tongkat panjang dengan gagang besi kuningan
itu sudah mulai berputar makin lama makin kencang. Rupanya si cebol
ingin melanjutkan dua jurus permainannya yang terdahulu, kini ia
memainkan tongkat panjang dengan luar biasa. Ia unjukkan kemahiran yang
luar biasa bagaimana tongkat panjang di tangannya bekerja.
"Hiaaaaihhh... heeeaaahhhh!" tanpa menunggu lawannya si cebol langsung menyerang dengan dahsyat.
Tongkat
panjangnya berputar kencang sekali bagaikan kitiran. Kibasan-kibasannya
sangat berbahaya. Ia terus merangsek lawan tandingnya tanpa ampun.
Tongkat panjang yang berputar-putar itu semakin dahsyat sekali.
Menyambar
kiri kanan, suaranya membuat kecut hati mereka yang berada di pihak
lawannya. Tapi lawan tandingnya kelihatan cukup tangguh untuk
mengimbangi jurus-jurus maut pendekar dari Gunung Tengger itu. Debu
mengepul di halaman rumah penginapan itu, dan suasana pagi yang cerah
mendadak diwarnai udara pembunuhan.
Mpu Hanggareksa dan Pranaraja yang menyaksikan pertarungan dari serambi rumah penginapan kelihatan cemas.
"Luar biasa permainan tongkatnya. Hati saya menjadi was-was juga, Tuan Pranaraja.”
“Jangan
cemas, Tuan Hanggareksa. Gusti Ranggalawe bukanlah seorang pendekar
sembarangan. Di istana Singasari beliau tergolong pendekar kelas satu.
Barangkali hanya Gusti Lembu Sora yang pantas disejajarkan dengan
beliau." Hati Mpu Hanggareksa agak tenang mendengar penjelasan
Pranaraja, sekalipun masih belum bisa melihat kenyataan pertarungan
keduanya. Baru pertama ia lihat ada seorang bertubuh cebol, yang
tampaknya bisa diangkat dan dilemparkan ke sana kemari dengan mudah,
tapi nyatanya pendekar seperti Ranggalawe bisa dibuat kerepotan. Mpu
Hanggareksa dan Pranaraja hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dengan
menahan napas penuh harap cemas.
Lebih-lebih si cebol terus menyerang junjungannya dengan gencar.
"Haaaaiiiiit!
Hiaaatttt! Hiaaaahhhh!" si cebol melenting ke udara undur dari kancah
perkelahian. Ia berdiri tepat di sisi Dewi Sambi yang sejak tadi hanya
menonton dengan mata melotot.
"Bagaimana, Kakang Bajil?”
“Panglima perang Singasari ini memang benar-benar tangguh!”
“Tapi Kakang masih belum dikalahkan bukan? Kakang masih sanggup melawan?”
“Heheheeee...?
Napasku masih panjang. Tenagaku masih mampu untuk bertempur dua hari
dua malam. Jangan khawatir, Sambi. Kalaupun aku tidak bisa mengalahkan
orang ini, dia pun juga tidak bisa mengalahkan aku." Si cebol itu
melangkah dua tindak mendekati lawannya.
"Bagaimana, Tuan? Apakah masih akan kita teruskan tontonan mengasyikkan ini?”
“Huuuh, Bajil! Aku bukan sedang membuat tontonan di halaman rumah penginapan ini. Aku akan menangkapmu dan orang-orangmu itu.”
“Heheheh!
Rupanya Tuan mempunyai pendirian kokoh seperti sebongkah batu karang.
Baiklah! Kalau memang demikian, aku terpaksa menggunakan jurus
andalanku.
Sebab kalau hanya dengan cara seperti ini, aku
kira kita bisa bertempur sampai besok lusa, dan tak akan ada yang keluar
sebagai pemenangnya." Bajil tersenyum pada perempuan cantik itu dan
mengulurkan tongkatnya, "Peganglah tongkatku ini, Sambi!" si cebol
mengulurkan tongkat berkepala ular sendok itu dengan tangan kirinya.
Dewi
Sambi menyambar tongkat Mpu Bajil kemudian melompat mundur. Sementara
Mpu Bajil berdiri tegak sambil meletakkan telapak tangannya di atas
dada. Itulah pertanda pendekar Gunung Tengger telah bersiap mengeluarkan
jurus pamungkas, yang bernama Aji Segara Geni. Si cebol bibirnya
mengatup rapat dengan mata sebentar terpejam dan terbuka kembali dengan
mendelik. Si cebol itu sambil tetap menyilangkan tangan di depan dada,
mulai menyedot napas perlahan-lahan. Mendadak tubuh orang cebol itu
bergetar hebat sekali. Rambutnya seperti ikut bergetar. Panglima
Singasari itu tahu bahwa musuhnya kali ini benar-benar unjuk gigi, ingin
mengadu kekuatan yang paling dalam dengan adu kesaktian. Maka dia pun
segera membuat persiapan. Kedua tangannya membuat suatu gerakan
melingkar tiga kali, dan akhirnya bersidekap, sementara kedua matanya
terus memancar dengan tajam ke arah lawannya.
"Heeeeiiiitt...!
Hiaaahhhh! Ajjjii Segarrraa Gennnniiii!" Bersamaan dengan kedua tangan
si cebol yang dihempaskan ke depan tepat ke arah dada lawannya
terdengarlah ledakan dahsyat karena Aji Segara Geni membentur ajian
Zirah Waja yang dikeluarkan Ranggalawe untuk membentengi serangan itu.
Dua tenaga dalam yang bertabrakan itu menimbulkan asap tebal hingga
membuat para penonton cemas sekali menunggu apa yang akan terjadi pada
kedua pendekar tangguh itu.
"Ooooohhhh...?" desah mereka
berbareng dengan mata melotot. Sebagian ingin melihat dengan jelas. Ada
yang mengucek-ucek matanya dengan punggung tangan, ada yang mendongakkan
kepala.
"Gusti! Gusti tidak apa-apa?" Pranaraja menyeruak
ke depan dan menghampiri junjungannya. Namun, junjungannya menghela
dengan tangan kirinya tanpa berkedip memandang si cebol.
"Minggirlah, Pranaraja!" Pranaraja dengan cepat melompat minggir dari sisi Ranggalawe.
"Heeeeh,
Bajil! Kalau kau benar-benar mau mengadu kesaktian dengan Ranggalawe,
Ayoooo..., kerahkan seluruh ilmu yang kau miliki! Tapi kau pasti akan
binasa di tanganku." Selesai mengucapkan kata-katanya, Ranggalawe
segera-menghunus kerisnya yang sudah terkenal ampuh, yang bernama
Megalamat. Terdengar suara berdencing mengerikan. Lebih-lebih pamor
senjata pusaka itu lambat laun menjalar pada pemiliknya. Setelah
menghunus keris Megalamat, mendadak penampilan Ranggalawe berubah.
Wajahnya
berapi-api dan seluruh tubuhnya seperti bergetar dengan hebatnya.
Sementara keris Megalamat tampak mengeluarkan cahaya kemerah-merahan,
yang membuat Mpu Bajil sedikit geragapan. Pada saat itulah orang yang
duduk di atas punggung kuda melompat ke tengah gelanggang. Ia berdiri
membelakangi panglima perang Singasari, lalu perlahan memutar dan
terseyum sangat dingin.Melangkah perlahan menghampiri Ranggalawe!
@@@
TAMAT